Jumat, 18 November 2011

Ketika Anak Mogok Sekolah

Aku nggak mo sekolah bunda...
Pernahkah anak kita mengatakan demikian? Atau pernahkah Anda punya pengalaman mengatasi anak yang mogok sekolah?Kalau ya bagaimana Anda mengatasinya?Berhasilkah?

Saat ini saya punya 2 anak kandung. Kakaknya usia 3,5 tahun dan adiknya baru 1,5 tahun dan sengaja si sulung juga belum saya masukkan sekolah (playgroup). Meski anak saya baru 2 orang tapi saya punya  ratusan anak di tempat saya bekerja. Setiap tahun, terutama hari-hari atau bulan-bulan awal tahun ajaran baru kejadian anak yang merengek atau bahkan teriak-teriak tidak mau masuk sekolah selalu saya dapati. Tapi bisanya seiring waktu hal tersebut bisa kita atasi. Di sekolah saya menemukan anak-anak dengan perilaku penolakan terhadap sekolah (school refusal) menangis, berguling-guling di teras, berteriak (temper tantrum) minta pulang dan bahkan hanya mau sekolah jika ditunggui mamanya di luar kelas.

Bisa dipahami, memasuki masa sekolah pertama kali adalah saat-saat menegangkan bagi anak-anak, khususnya playgroup. Karena untuk pertama kalinya harus merasakan pengalaman berpisah sementara waktu dengan bundanya atau baby sitternya. Mereka mungkin saja tidak terbiasa menghadapi rutinitas sekolah dan merasa sangat lelah. Perubahan ini membuat anak-anak cemas, stres dan akhirnya merasa putus asa. Sekolah bagi anak adalah sebuah lingkungan baru, aneh, asing, menakutkan, membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri hingga anak benar-benar merasakan nyaman dan aman berada di tempat itu. Dalam hitungan hari mungkin tak masalah, anak menunjukkan perilaku seperti itu, semua orang tuapun bisa memahaminya. Tetapi bagaimana jika kondisi itu berlanjut dari minggu ke minggu, bulan ke bulan sampai si anak memutuskan benar-benar tidak mau sekolah???

Apa yang harus kita lakukan untuk mencegah timbulnya school refusal???
Bunda ada beberapa langkah yang menurut saya cukup efektif (manjur) untuk mencegah timbulnya school refusal pada anak. Langkah ini sudah saya bagikan kepada teman-teman saya yang akan menyekolahkan putra-putrinya usia datita (playgroup). Namun ini kembali lagi kepada karakeristik anak dan ketelatenan kita sebagai Bunda yah ^^

Berikut Langkah -langkah yang perlu dilakukan adalah :

1. Amati dan kenali kesiapan anak, apakah secara emosional sudah siap untuk menerima pendidikan formal di sekolah? Saya sarankan jangan terbawa tuntutan lingkungan dan ambisi kita sebagai orang tua misalnya anak tetangga usia 2,5 tahun sudah disekolahkan bahkan sudah les ini itu. Masa anak saya nggak sekolah juga sih? Padahal setiap anak memiliki kesiapan yang berbeda-beda. Usia bermain biarkanlah bermain, mengeksplorasi lingkungannya hingga memiliki kepercayaan atas lingkungannya. Sabarlah menunggu hingga anak menunjukkan kesiapan dan kebutuhan untuk bersekolah.

2. Bunda langkah berikutnya adalah ketepatan menentukan sekolah yang akan kita pilih. Kesesuaian karakter anak dan karakter sekolah sangat penting yah bunda. Pilihlah sekolah yang mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, sosial anak (child-centered kindergarten) Pembelajaran diorganisasikan sesuai kebutuhan-kebutuhan, minat, dan gaya belajar. Penekanan di sini adalah pada proses belajar, bukan apa yang didapat anak dan apa yang dipelajari anak. Kesesuaian karakter sekolah dan karakter anak mempengaruhi tingkat kecemasan, jika tidak sesuai dengan karakter anak, maka kecemasan anak meningkat. Anak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan karakter sekolah. Kecemasan ini pula yang menyebabkan anak putus asa dan menolak untuk sekolah. Jika Bunda merasa telah salah memilih sekolah, jangan ragu memindahkan anak ke sekolah yang lebih sesuai dengan karakter anak.

3. Bunda suka mendongeng untuk putra putrinya??? Jika Bunda sudah menemukan sekolah yang sesuai dengan karakter anak, usahakan mulai mengenalkan dunia sekolah lewat cerita. Tetapi Bunda jangan sampai berbohong, dalam arti mengada-ada. Sajikan Fakta-fakta yang telah bunda dapatkan di sekolah, lalu sampaikan namun dibungkus dengan kisah yang menarik yah bunda.

4. Ajak anak bermain ke sekolahnya, misalnya sore hari, perkenalkan lingkungan yang akan menjadi tempatnya belajar. Biarkan anak menjadi familiar dengan sekolahnya, gedung, halaman, dan tempat bermain sekolah. Lakukan dengan santai sambil bermain bersama anak.

5. Komunikasikan karakter anak kepada guru-guru yang akan mengajar yah bunda, informasikan apa adanya, hal ini akan membantu guru memperlakukan anak kita secara tepat dan menghindari upaya generalisasi guru terhadap karakter semua anak didiknya.

6. Ketika mulai masuk sekolah, yakinkan pada anak bahwa bunda akan menjemputnya tepat waktu. Katakan padanya, di sana akan banyak guru-guru yang baik hati seperti yang bunda ceritakan lewat dongeng. Guru-guru baik yang siap membantunya dalam segala hal, termasuk akan membantunya ke toilet untuk pipis atau pup. Bunda harus konsisten, jika berjanji menjemput sekolah tepat waktu, tepatilah, jangan sekalipun anak dibiarkan menunggu bunda karena telat menjemputnya. Hal ini untuk menghindari munculnya ketidak percayaan anak terhadap bundanya dan kecemasan keterpisahan dapat muncul kembali.

7. Jika anak mulai mengeluhkan kecemasan yang dirasakan, terimalah dengan terbuka, jangan coba mengingkari munculnya rasa cemas itu. Tunjukkan rasa empati kepada anak, katakanlah bahwa bunda juga bisa merasakan apa yang dirasakan anak. Anak akan merasa dihargai dan ini adalah awal yang baik membangun keterbukaan komunikasi antara bunda dan anak. Tanyakan kesulitan-kesulitan apa saja yang anak rasakan di sekolah.

8. Sepulang sekolah, biasakan bertanya kepada anak apa saja yang sudah diajarkan oleh gurunya, dan berilah reward manakala dia mampu menunjukkan keberanian atau keberhasilan di sekolahnya.

9. Undang beberapa teman baru sekolahnya ke rumah atau ke suatu tempat, biarkan anak berinteraksi, berkumpul dan bersosialisasi di luar lingkungan sekolah tetapi tetap bersama teman sekolahnya. Ini membangun rasa percaya diri dan kenyamanan anak kepada teman sekolahnya.

10. Yakinkan pada anak bahwa bundanya tidak akan meninggalkan,dan selalu ada untuk anak. Tunjukkan bahwa bunda memberikan perhatian lebih semenjak anak masuk sekolah, jadilah pendengar yang baik atas segala keluhan yang anak rasakan,dan jangan menambahkan beban kepada anak dengan memberikan bermacam-macam les. Jika anak mengatakan lelah, maka berilah waktu untuk beristirahat dan biarkan anak memutuskan kapan mau belajar lagi.




Kamis, 03 November 2011

Anak Nakal Dilahirkan?

“Aduh duhh….”. Keluh seorang ibu sambil mengelus dada.
“Napa, jeng ?”. Tanya tetangga sebelah rumah dengan nada perlahan. “Jantungnya bermasalah ?”.
“E… Bapak Santoso. Nggak pak…”. Jawab ibu tersebut sambil tersenyum malu.
“Saya cuman sedang sedih, jengkel dan marah. Campur aduk dah pak. Saya ini kok bisa melahirkan anak yang nakal ? Anak saya ini loh, pak. Bikin saya gemes melihat dan mendengar perilaku anak saya setiap hari. Mulai dari gak mau disuruh belajar, suka bohong, tidak punya semangat kalau ngadepin kesulitan, tidak disiplin ngikutin aturan. Hampir tiap hari saya mendapatkan laporan dari gurunya dan hampir setiap hari saya harus teriak-teriak di dalam rumah untuk mendisiplinkan anak saya. Saya jadi gak tahan ada di rumah, penginnya kerja melulu. Daripada pulang, kemudian ketemu anak saya… terus harus ngadepin kenakalan anak saya.” Cerocos ibu itu tanpa bisa di rem.
Benarkah anak nakal dilahirkan ?
Setiap anak memang dilahirkan. Tidak ada seorang anak yang hidup di dunia ini tanpa melalui proses kelahiran. Jadi kalimat diatas 50 % tepat tapi 50 % lainnya salah !
Kenakalan ada dalam diri anak bukan karena dilahirkan. Bukan karena takdir. Bukan juga karena turunan / warisan dari kakek nenek moyang.
Kenakalan terjadi karena pembentukan dari lingkungan. Karena kenakalan tidak termasuk warisan gen maka tentu saja bisa dicegah agar tidak terbentuk. Bagaimana mencegahnya?
Kenakalan pada anak terjadi, hampir selalu diawali dengan satu kesalahan yaitu kesalahan dalam proses komunikasi. Komunikasi sendiri merupakan suatu proses yang membutuhkan kemampuan memahami dan menyampaikan ide/perasaan kepada orang lain.
Kesalahan terbesar dan terbanyak yang dilakukan oleh orangtua dalam berkomunikasi adalah kegagalan untuk memahami anak terlebih dahulu (memahami karakter anak, memahami bahasa cinta anak, dan memahami kebutuhan anak).

Berapa banyak dari kita yang meminta anak untuk memahami kita terlebih dahulu dan mengerti keinginan kita. Pernahkah kita meminta anak seperti ini : “Ibu yang melahirkan kamu, jadi ibu yang paling mengerti keinginan kamu.“ Atau, “Ayah yang menyekolahkan kamu sampai tinggi. Ayah juga yang memberi kamu makan nasi bukan batu. Jadi sudah sepantasnya kamu berbakti dan taat kepada ayah !”.
Ketika kita gagal memahami anak maka anak akan berusaha mencari AKAL agar bisa dipahami oleh kita yaitu dengan melakukan hal yang tidak kita sukai atau sebaliknya. Akal-akal yang nakal inilah yang membuat kita pusing 7 keliling.
Apa saja yang perlu kita pahami terlebih dahulu dalam diri anak agar komunikasi bisa berjalan dengan mulus ?
  • Tipe kepribadian anak Anda sehingga Anda bisa mengetahui apa yang disukai atau dibenci oleh anak Anda. Anda juga akan mengerti bagaimana memberikan motivasi sesuai dengan tipe kepribadian anak Anda.
  • Cara salah yang sering digunakan orangtua dalam menasehati anaknya mengakibatkan anak tumbuh menjadi seseorang yang sering ragu-ragu, tidak percaya diri dan sulit mengambil keputusan.
  • Cara berkomunikasi agar anak mau mendengarkan dan fokus dengan apa yang disampaikan orangtua.
  • Mengenali bahasa cinta anak Anda. Berbicara dengan bahasa cinta yang tepat akan membuat anak benar-benar merasa dicintai oleh orangtuanya.
Jadi, jika ada SATU SKILL PENTING yang harus dimiliki oleh setiap orangtua, skill itu adalah bisa berkomunikasi efektif dengan anak. Anak menjadi merasa dicintai dan dimengerti oleh orangtuanya. Itulah SKILL TERPENTING yang perlu dimiliki oleh semua orangtua.
Semoga artikel singkat ini bermanfaat dan memberikan perspektif baru bagi Anda semua dalam berkomunikasi dengan anak Anda. Silakan beri komentar Anda tentang artikel ini di bagian bawah. Kami akan senang sekali mendengar komentar Anda. (sumber :artikel sekolahOrangtua.com)